Catatan tentang The Diary of Voyager / Notes on The Diary of Voyager

Oleh Suwarni a.k.a Adek Ceeguk

(English below)







“Pada suatu ketika!” 

Boy Mihaballo mengucapkan kata-kata itu dengan lantang, menandai dimulainya rangkaian site-specific theatre yang bertajuk The Diary of Voyager, 31 Agustus 2019, pukul 15.00. Sebuah project yang berbasis di Sungai Cisadane, Tangerang ini diinisiasi oleh tiga seniman Taiwan, yaitu Chang, Ting-Wei; Chang, Ting-Yong dan Wake-Up. Mereka tergabung dalam kelompok Shan-Dong-Ye Troupe. Pada project ini, mereka mengajak kelompok Artery Performa (Jakarta) dan Semanggi Foundation (Tangerang) untuk turut merealisasikannya.

Boy mengayunkan tongkat sambil melompat-lompat, mengelilingi Tugu Jam Argotech, Pasar Lama, Tangerang. Di luar lingkaran tugu itu, seseorang memukul drum seirama dengan ayunan tongkat Boy. Dengan gerakan menari-menari, Boy berjalan keluar lingkaran menuju jalan raya. Boy terus mengayunkan tongkat yang mengeluarkan bunyi dari tutup botol minuman beragam merk sambil terus bergerak ritmis. Gerakan Boy mengingatkanku pada gerakan tarian dari suku di Papua. 

Boy menyusuri sebuah gang di Pasar Lama, melewati penjual buah, penjual bunga, kios sembako dan toko-toko peralatan ritual ibadah klenteng. Ada sebuah pemandangan tradisional yang tidak saling menyapa. Tetapi, pasar itu menjadi sebuah tempat yang bukan tradisional ketika Boy memasukinya. Kain tenun yang Boy kenakan sebagai penutup kepala dan sarung menjadi sebuah identitas yang sangat privat. Tiba di depan Klenteng Boen Tek Bio, Boy berjalan memutar lalu berlari. Lin, Jin-Yan berjalan memutar dengan pusaran yang sama dengan Boy, perlahan gerakan Jin-Yan melambat dan putarannya menyempit. 

Jin-Yan berjalan sedikit tertahan dengan membawa bungkusan bunga, berhenti di depan sebuah toko obat Cina, menatapnya lalu duduk, meletakkan bungkusan bunga yang ada di tangannya di pinggir jalan kecil itu. Jin-Yan mengeluarkan handphone dan menyalakan rekaman dalam bahasa Inggris. Rekaman itu menceritakan sebuah kisah tentang seorang ibu yang membawa anaknya ke kuil untuk berdoa karena anaknya mempunyai penyakit aneh. Sang ibu berdoa agar anaknya menjadi normal. Rekaman terdengar tersendat-sendat, macet. Kisah ibu dan anak yang rumit, seperti juga suara rekaman yang rumit. 

“Saya tidak punya iman.” 

Itulah salah satu pernyataan yang terdengar dari suara rekaman yang diputar Jin-Yan. Pernyataan yang rumit. Bagaimana bisa dirinya menyatakan tidak punya iman? Sebuah kesadaran yang rumit ketika menyadari batasan antara beriman dan tidak beriman. Sementara Jin-Yan bergerak dengan biasa dan santai sekali. 

Jin-Yan berjalan dengan lompatan-lompatan kecil diiringi musik Mandarin. Dia menghadirkan banyak kontradiksi yang sengaja ditawarkan kepada penonton untuk membatasi dirinya dengan persepsi lain di luar dirinya. Jin-Yan menyatakan kehadirannya pada ruang performanya juga melalui hio yang dinyalakannya. Beberapa kali dia menyapa orang-orang yang dilintasinya. Sejenak dia berhenti dan menyandarkan bunga di tepi tembok, mengeluarkan rokok elektrik, menghisapnya, dan menandai ruang performanya dengan meletakkan setangkai bunga. 

Chang, Ting-Yong memulai performanya dengan tanaman rambat dan batu di kepalanya. Ricky Unik membantunya dengan menyanyikan lagu Sepanjang Jalan Kenangan dengan suara yang akrab ditelinga. Mereka mengajak penonton untuk mengingat momen ini sebagai kenangan yang panjang dan intim. 

Ting-Yong membawa penonton untuk merasakan setiap detil gerakannya melalui sentuhan benda-benda sekitar. Dia membuka pintu dalam dirinya dan membawa penonton untuk masuk ke dalam dirinya, membiarkan orang lain merasakan apa yang dia rasakan. Ting-Yong berjalan menyusuri gang sempit di kawasan Kalipasir. Performa ini membuat penonton berdiri saling berdekatan dengan tanaman merambat yang dipegang berantai dari tangan ke tangan. 

Ting-Yong keluar dari gang sempit itu diikuti oleh penonton di belakangnya. Mereka bergerak seirama untuk menyeberang jalan. Kendaraan yang melaju cepat mendadak terhenti, memberi jalan kepada barisan orang-orang dengan tanaman menjalar di tangannya untuk lewat. Aku mengamati Ting-Yong dengan barisan itu dan mengamati ekspresi pengendara yang berhenti. Wajah pengendara terlihat bertanya-tanya. Beberapa pengendara motor berdiri dan ingin tahu apa yang terjadi di depan. Wajah pengendara ramai ekspresi. 

Ting-Yong menciptakan situasi yang terlihat seperti ‘pemukiman orang-orang’ yang tidak saling mengenal, seperti penghuni apartemen. Padat dan sunyi. Dia menciptakan kesunyian yang tidak dikenali. Setelah Ting-Yong dan barisan orang-orang dengan tanaman menjalar itu menyeberangi jalan raya, ‘pemukiman orang-orang’ tersebut bubar. Tapi pemukiman itu masih belum bubar dari ingatanku. 

Selanjutnya, Ting-Yong memasukkan tanaman menjalar ke dalam botol plastik yang masih berisi air, memegangnya terbalik dan air dalam botol muntah keluar bersama tanaman menjalar. Lalu botol kosong tersebut ditiup dan dihirup bergantian. Seperti mengatakan sulitnya hidup di tengah pemukiman padat. Kota berkembang semakin sesak, kendaraan melaju setiap saat tanpa henti. Pertumbuhan yang pesat dan kegawatan terhadap ruang-ruang privat. Melalui lagu yang dinyanyikan oleh Ricky, Ting-Yong mengambil ingatannya tentang kota pada masa lalu yang indah dan dramatis. Dia membangun konsep performanya seperti menceritakan sebuah peradaban yang kritis dan harus segera ditolong.

Musa Carlos bernyanyi lagu Nina Bobo sambil memetik gitar. Chang, Shih-Fen mengawali performanya dengan bercerita tentang kehidupan seorang nenek dengan cucunya yang sehari-hari beraktivitas di tepi sungai. Shih-Fen pergi menjemput nenek dan cucunya untuk bercerita bersama kepada penonton. Dia menyeberang jalan dan hilang sejenak lalu muncul kembali dengan sandal kecil di tangannya. Shih-Fen mengatakan bahwa nenek dan cucunya tidak bisa bercerita secara langsung dan mengirimkan sandal untuk menemaninya bercerita. Penonton diajak berjalan menuju tepi sungai dan dengan arahan Shih-Fen, penonton duduk berjajar membelakangi sungai. 

Dimulailah cerita tentang keseharian nenek dan cucunya. Setiap hari, cucu berlari ke sana kemari. Cucu sering bertanya kepada nenek. Pertanyaan-pertanyaan itu dijawab oleh nenek dengan filosofis. Melalui Shih-Fen, nenek meminta penonton untuk membuka telapak tangan dimana kita bisa melihat sungai yang kecil.

Setidaknya, aku merasakan lapisan kehidupan dalam performa Shih-Fen. Lapisan pertama adalah kehidupan nenek dan cucu. Kemudian, kehidupan mereka setelah Shih-Fen ikut campur tangan di dalamnya. Selanjutnya adalah lapisan kehidupan Shih-Fen sendri. Terakhir, lapisan kehidupan yang hidup di kepala penonton. 

Penonton dilibatkan dalam performa ini sebagai ‘orang yang diajak’ untuk masuk ke dalam imajinasi Shih-Fen. Lalu Shih-Fen pergi naik perahu, menaburkan bunga ke sungai dan mengibarkan kelambu biru. Shih-Fen membentangkan kelambu itu di seberang Tao Pe Kong Air.

Aku melihat ada susunan dramatik yang dibuat sedemikian rupa melalui benda-benda dan cerita yang dibangun Shih-Fen. Performa Shih-Fen terlihat utuh, memiliki tangga dramatik. Membiarkan penonton masuk ke dalam imajinasinya, tanpa menginterupsi secara berlebihan. Dia membangun jembatan keterhubungan antara performer dan penonton melalui bunga-bunga yang mengapung di sungai. Seakan ingin mengatakan, “kita belum berpisah” atau “kita tidak terpisahkan.”

Dengan memakai perahu, Fidelis Krus bermain layangan dari seberang Tao Pe Kong Air, menghampiri kerumunan penonton dengan cerita tentang tanaman bonsai. Selesai bercerita, dia meneteskan air sungai ke dalam dua matanya. Aku melihatnya sebagai pemaksaan sebuah kehendak untuk masuk ke dalam tubuhnya. Aku melihat Fidelis memperlakukan tubuhnya seperti tanaman bonsai dengan lilitan-lilitan kawat itu. 

Ricky memutuskan lilitan-litan kawat pada tubuh Fidelis. Ricky melakukannya sambil menyampaikan mitos buaya putih. Ricky mendistorsi susunan narasi pada tubuh Fidelis. Dengan buyarnya narasi pada tubuh Fidelis, aku jadi berharap tubuh Fidelis tetap bertahan dengan lilitan-lilitan kawat.

Ricky memulai performanya dengan membagikan topeng buaya dan balon kepada penonton. Penonton diminta memakai topeng buaya dan menuliskan keinginannya pada balon yang kemudian dilarungkan ke sungai. Lalu Ricky merepresentasikan dirinya sebagai buaya putih: berenang di atas kain putih yang membentang di permukaan sungai dengan ditopang dua perahu. Ricky menghentak-hentakkan tubuhnya. Perahu bergeser menjauh.

Aku bertanya-tanya dalam hati, lalu bagaimana dengan mitos buaya putih? Bagaimana dengan keinginan yang dibuang ke sungai? Aku melihat performa Ricky sebagai sebuah ekspektasi bentuk-bentuk visual yang tidak terbangun konsep performanya. Sebagai puzzle yang hanya sepotong dan kehilangan potongan puzzle yang lain.

Pertunjukan ini dilanjutkan kembali oleh performa Jin-Yan yang menyiapkan bunga, hio dan rekaman cerita. Aku menduga Jin-Yan akan beribadah di depan altar Tao Pe Kong Air. Tetapi melalui rekaman yang disampaikan lewat handphone-nya, Jin-Yan bercerita tentang kehidupan ayahnya. Jin-Yan bergerak lambat dan ritmis, seakan untuk bernafas pun harus perlahan. Jin-Yan berjalan ke tepi sungai, naik perahu, melarungkan kemeja kertas dan menabur bunga. Aku melihatnya sebagai upaya untuk meringankan dosa ayahnya dan berdamai dengan dirinya sendiri. Mungkinkah Jin-Yan memiliki sungai untuk menenggelamkan masa lalu ayahnya yang buruk?

Boy berjalan perlahan. Penonton mengikutinya, menyusuri trotoar di pinggir jalan tepian Sungai Cisadane. Tidak ada satu kata pun yang diucapkannya seperti sungai yang mengalir dalam diam. Penonton mengikutinya tanpa banyak bertanya seakan mempercayakan langkahnya kepada Boy. Terjalin perasaan saling percaya yang tidak terkatakan. Boy berhenti berjalan di gang kecil samping Pemakaman Keramat Masjid Jami Kalipasir, tempat Dendi Madiya dan Chang, Ting-Wei memulai performa mereka.

Dendi menyiram tanaman, sementara Ting-Wei menyanyikan sebuah lagu dalam bahasa Mandarin dengan suara yang cukup merdu dan hangat di telingaku meskipun aku tidak memahami apa yang dinyanyikannya. Dendi mengeluarkan kertas dan membaca sebuah puisi yang langsung aku kenali sebagai puisi Afrizal Malna, Hujan di Pagi Hari. 

Sampai di situ, aku memahami bahwa mereka akan melakukan performa bersama atau berkolaborasi. Mereka mengeluarkan kain berwarna hitam dan mengikatkannya di kepala masing-masing. Mengeluarkan kain hitam yang lain dan membagikannya kepada penonton. Mereka mengharapkan penonton untuk mendengarkan suara sungai. Ting-Wei mengarahkan penonton yang tertutup matanya oleh kain hitam itu untuk berpegangan satu sama lain.

Penonton berbaris menuju tepian sungai. Dendi menggendong seorang penonton. Menyeberang jalan, melangkah di trotoar, tiba kembali di Tao Pe Kong Air. Ting-Wei meminta penonton untuk duduk di undakan anak tangga. Dendi yang membuka tutup matanya, mengucapkan lima dasar Republik Indonesia, Pancasila, yang diikuti oleh penonton yang masih tertutup matanya. Bergantian, penonton kembali dipandu untuk mengikuti ucapan Ting-Wei dalam bahasa Mandarin.

Dendi melangkah ke sudut tepian sungai sambil meneriakkan data dirinya. Disusul oleh Ting-Wei yang memperkenalkan dirinya sambil menyiram tubuhnya dengan air sungai. Aku merasakan diri Ting-Wei yang tangguh. Mereka naik ke perahu. Dendi memegang hio. Sepanjang perjalanan dengan perahu, mereka mengulang-ulang meneriakkan data diri masing-masing. Sesampainya di seberang, mereka berjalan beriringan di tepian sungai.

Meskipun performa Dendi dan Ting-Wei dilakukan bersamaan, namun ada dua narasi besar yang berbeda. Ting-Wei lebih terlihat provokatif dan kuat sebagai pemimpin. Ada unsur pemaksaan yang kuat saat Ting-Wei mendiktekan lagu kebangsaan Taiwan yang diikuti oleh penonton. Aku merasakan kesamaan narasi Ting-Wei dengan narasi Fidelis. Tentang sebuah pemaksaan yang harus masuk ke dalam diri dan pemberontakan dari dalam diri terhadap narasi di luar diri. Ting-Wei dan Fidelis adalah bonsai yang dibentuk oleh kulturisasi yang hidup dalam masyarakat. Sedangkan Dendi adalah tipuan dari puisi yang hidup di masyarakat sebagai jalan lain bagi orang-orang yang sudah terlanjur keluar dari tradisi yang hidup di masyarakat.

Apakah sindiran terhadap kekuasaan menjadi sesuatu yang indah dalam seni pertunjukan? Apakah praktik-praktik potongan performa yang politis bisa masuk begitu saja di kepala penonton? Ada semacam kesepakatan bersama yang tidak dibicarakan di kepala penonton bahwa menjadi sebuah pewajaran massal ketika potongan kritik menjadi sebuah tema dalam karya pertunjukan. Mungkin karena sindiran politik itu disampaikan oleh seniman. Berbeda halnya jika yang melakukan sindiran politik itu seorang aktifis atau pengamat politik. Sekan seniman terbebas atau berada di jalur khusus yang tidak bisa dilalui para aktifis atau pengamat politik.

Dari seberang Tao Pe Kong Air; Wong, Yun-Ting mengrimkan surat melalui perahu untuk dibacakan kepada penonton. Isi surat itu tentang pernyataan dirinya kepada sang kekasih. Juga membagikan permen lollipop. Pada akhir surat itu, Yun-Ting mengajak penonton untuk menatap senja. 

Saat aku mendengar pembacaan surat Yun-Ting, aku mengalami perasaan yang sama ketika mendengar pembacaan puisi yang dilakukan Dendi. Ada kerinduan yang sama dari Yun-Ting dan Dendi. Rindu yang dalam dan sunyi yang hanya sebatas sore dan senja. Yang hangat seperti matahari. Dan setelah rangkaian performa selesai, ada perasaan ganjil yang belum lengkap.* 


Notes on The Diary of Voyager

By Suwarni a.k.a Adek Ceeguk

"Once upon a time!"

Boy Mihaballo said the words aloud, marking the start of a site-specific theater titled The Diary of Voyager, August 31st, 2019, at 3 pm. A project based in the Cisadane River, Tangerang, which was initiated by three Taiwanese artists, namely Chang, Ting-Wei; Chang, Ting-Yong and Wake-Up. They are members of the Shan-Dong-Ye Troupe. In this project, they invited Artery Performa (Jakarta) and Semanggi Foundation (Tangerang) to collaborate.

Boy was swinging a stick and jumping, circling Tugu Jam (Clock Tower) Argotech, Pasar Lama, Tangerang. Outside the circle of the tower, someone hit the drum in the same rhythm as the swing of Boy's stick. With dancing moves, Boy walked out of the circle, toward the highway. Boy continued to swing the stick that made a sound from the lid of various drink bottles brand while continuing to move rhythmically. Boy's movements remind me of tribal dance moves in Papua.

Boy walked down an alley in the Pasar Lama, through a fruit seller, flower seller, food stall, and temple worship ritual equipment shops. There was a traditional scenery that did not greet each other. However, the market became a place that was not traditional when Boy entered it. The woven fabric that Boy wore as a head covering and sarong became a very private identity. Arriving before the Boen Tek Bio Temple, Boy walked around and then ran. Lin, Jin-Yan walked around the same vortex with Boy. Then, Jin-Yan moved slower and his rotation narrowed.

Jin-Yan walked a bit restrained by carrying a bundle of flowers, stopped in front of a Chinese drugstore, looked at it then sat down, and put the bundle of flowers on the small roadside. Jin-Yan took out his cell phone and turned on a recording in English. The recording told a story about a mother who brought her child to the temple to pray because the child had a strange disease. The mother prayed for her child to become normal. The recording sounded faltered and jammed. A complicated mother and child story, as well as complicated recording sounds.

"I have no faith."

That is one statement that was heard from the recorded sound played by Jin-Yan. Complicated statement. How could he claim to have no faith? A complicated awareness when realizing the boundary between having faith and not having faith. While Jin-Yan moved with a normal and very relaxed.

Jin-Yan walked with small jumps accompanied by Mandarin music. He presented many contradictions which deliberately offered to the audience to limit between himself and other perceptions outside of himself. Jin-Yan stated his presence in his performance space, also by incense that he ignited. Several times he greeted the people he passed. For a moment he stopped and leaned the flower on the edge of the wall, took out an electric cigarette, sucked it, and marked his performance space by putting a flower.

Chang, Ting-Yong began her performance with vines and stone on her head. Ricky Unik helped her by singing the song Sepanjang Jalan Kenangan with a familiar voice to my ears. They invited the audience to remember the moment as a long and intimate memory.

Ting-Yong brought the audience to feel every detail of her movement by touching the surrounding objects. She opened the door inside herself and brought the audience to enter into herself, letting others feel what she feels. Ting-Yong was walking down the narrow alley in the Kalipasir area. This performance made the audience stand up adjacently with vines that were held from hand to hand.

Ting-Yong exited the narrow alley followed by the audience behind her. They moved in one rhythm to cross the road. The fast-moving vehicle suddenly stopped, giving the way to the line of people with the vines in their hands to pass by. I watched Ting-Yong with that line and the expression of the drivers who stopped. The drivers looked like wondering. Some motorcyclists stood up and were curious about what happened in front of them. Their faces were full of expressions.

Ting-Yong created a situation that looked like a 'people settlement' that did not mutually get to know, like apartment dwellers. Dense and silent. She created a silence that was unrecognized. After Ting-Yong and the line of people with the vines crossed the highway, that 'settlement of people' broke up. But it hasn't broken up from my memory.

Next, Ting-Yong put the vines in a plastic bottle that was still contained water, held it upside down and the water in the bottle vomits out with the vines. Then the empty bottle was blown and inhaled alternately. Like saying about the difficulty of living in the middle of a dense settlement. The city is growing increasingly congested, vehicles are driving all the time without stop. Rapid growth and emergency of private spaces. With a song that Ricky sang, Ting-Yong took her memories of the city in the beautiful and dramatic old days. She built the concept of her performance like telling a civilization which is critical and must be helped immediately.

Musa Carlos sang the song Nina Bobo while strumming the guitar. Chang, Shih-Fen began her performance by telling stories about the life of a grandmother with her granddaughter who have daily activities on the river bank. Shih-Fen went to get the grandmother and her granddaughter to tell stories together to the audience. She crossed the road and disappeared for a moment then reappeared with a small slipper in her hand. Shih-Fen said that the grandmother and her granddaughter couldn't tell stories directly and sent a slipper to accompany her to tell stories to the audience. The audience asked to walk to the river bank and with Shih-Fen's direction, the audience sat in a row near to the river.

The stories began with the daily life of the grandmother and her granddaughter. Every day, the granddaughter runs around. Granddaughter often asks grandmother. The questions are answered by the grandmother with philosophy. Through Shih-Fen, the grandmother asks the audience to open their palms where we can see a small river.

I felt layers of life in Shih-Fen's performance. The first layer is the lives of the grandmother and her granddaughter. Then, their lives after the intervention of Shih-Fen. Next is the life layer of Shih-Fen herself. Finally, the layer of life that lives in the audience's mind.

The audience was involved in this performance as 'invited people' to enter Shih-Fen's imagination. Then Shih-Fen went on a boat, sprinkled flowers on the river, and flapped a blue mosquito net. Across the Tao Pe Kong Air, Shih-Fen spread the mosquito net.

I saw a dramatic arrangement that was made in such a way through objects and stories built by Shih-Fen. Shih-Fen's performance looked intact, it had a dramatic structure. Letting the audience enter her imagination, without interrupting excessively. She built a bridge of connectedness between the performer and the audience through the flowers that float on the river. As if to say, "We haven't separated" or "we are inseparable."

By using a boat, Fidelis Krus played kite from across the Tao Pe Kong Air, approaching the crowd of spectators with a story about the bonsai plant. After he finished the storytelling, he dripped the river water into his two eyes. I saw it as a coercion from some kind a will to enter his body. I saw Fidelis treat his body like a bonsai plant with those wire twists.

Ricky severed the winding wire on Fidelis's body. Ricky did it while conveying the myth of a white crocodile. Ricky distorted the narrative structure of Fidelis's body. Since Ricky broke the narration on Fidelis's body, it made me hope Fidelis's body will stay with the windings-coil of wire.

Ricky started his performance by distributing crocodile masks and balloons to the audience. The audience was asked to wear a crocodile mask and write down their wishes on the balloons which were dissolved into the river. Then Ricky represented himself as a white crocodile: swimming on a white fabric that stretches on the surface of the river with two support boats. Ricky's body was stomping. The boats shift away.

I wondered, then what about the white crocodile myth? How about the desires which thrown into the river? I saw Ricky's performance as an expectation of visual forms which did not develop the performance concept. As a piece of a puzzle that loses the other piece.

The performance was continued by Jin-Yan who prepared flowers, incense and story recording. I guessed Jin-Yan would pray in front of the altar of Tao Pe Kong Air. But through the recording delivered via his cellphone, Jin-Yan told a story about his father's life. Jin-Yan moved slowly and rhythmically as if we also had to breath slowly. Jin-Yan walked to the river bank, took a boat, float a paper shirt and sow flowers. I saw it as an attempt to ease his father's sin and to make peace with himself. Could it be that Jin-Yan has a river to sink his father's bad past?

Boy walked slowly. The audience followed him, along the sidewalk of the Cisadane River bank. Not a single word he spoke like a river that flows in silence. The audience followed him without asking much as if entrusting their steps to Boy. The feelings of trust that unspeakable intertwined. Boy stopped walking in a small alley next to the Sacred Cemetery of the Jami Kalipasir Mosque, the place of Chang, Ting-Wei, and Dendi Madiya start their performance.

Dendi watered the plants, while Ting-Wei sang a song in Mandarin with a pretty melodious voice and warm in my ears even though I did not understand what she sang. Dendi pulled out a paper and read a poem that I immediately recognized as a poem of Afrizal Malna, Morning Rain. At that point, I understood that they would perform together or collaborate. They took out a black cloth and tied it to their heads. They took out other black fabrics and shared them with the audience. They expected the audience to listen to the sound of the river. Ting-Wei directed the audience who were blindfolded by the black cloth to hold on to each other.

Spectators march towards the river bank. Dendi carried a spectator. Crossing the road, step on the sidewalk, and arrive back at Tao Pe Kong Air. Ting-Wei asked the audience to sit on the stairs. Dendi, who opened the blindfold, said the five basics of Republic of Indonesia, Pancasila, which was followed by spectators who were still blindfolded. Alternately, the audience was guided again to follow Ting-Wei's words in Mandarin.

Dendi stepped into the corner of the river bank, shouting his data. Followed by Ting-Wei who introduced herself while watering her body with river water. I felt Ting-Wei was a tough person. They got on the boat. Dendi holds incense. By boat, they repeatedly shouted out their data. Arriving at the opposite side, they walked together on the river bank.

Even though Dendi and Ting-Wei's performances was done together, actually two big narratives were different. Ting-Wei looked more provocative and strong as a leader. There was an element of coercion that was strong when Ting-Wei dictated the Taiwanese national anthem that was followed by the audience. I felt the similarity of narration from Ting-Wei and Fidelis: about a compulsion that urges one to enter into self and internal rebellion against outside narratives. Ting-Wei and Fidelis are bonsai that are formed by the culture that lives in the community. Dendi is a deception from poetry that lives in the community as another way for people who have already left the traditions that live in the community.

Is the innuendo to authority or politics a beautiful thing in theatre? Are the practices of performance pieces that political can slip into the mind of the audience? There is a kind of mutual agreement that is not discussed in the audience's mind that it becomes a mass understanding when a piece of criticism becomes a theme in theatre. Maybe because of that political innuendo was delivered by the artist. It is different if the one who conveys the political innuendo is an activist or political observer. As if the artist is free or on a special path that political activists or observers cannot go through.

From across the Tao Pe Kong Air; Wong, Yun-Ting sent a letter to the audience by boat. The content of the letter is statements to her lover. She also shared lollipop candy. At the end of the letter, Yun-Ting asked the audience to stare at the dusk.

When I heard the reading of Yun-Ting's letter, I experienced the same feeling when I heard the reading of poetry by Dendi. There was the same longing from Yun-Ting and Dendi. A deep and lonely longing as limited as evening and dusk. Also, warm like the sun. And after the performance was finished, there was an incomplete odd feeling.*

(Translated by Dendi Madiya)


Comments

Popular Posts