Monolog Gaza oleh Artery Performa - Festival Oktober Komite Teater DKL / Gaza Monologues by Artery Performa - Festival Oktober Lampung Arts Council

-

 


Lihat video di/See the video on:
https://www.youtube.com/watch?v=z_33-cskWJY 


    Foto oleh Panitia Festival Oktober DKL

 

Produksi ASHTAR Theatre Palestine

Penampil: Artery Performa (Dendi Madiya, Fahmi Ulhaq, Muchammad Syachbudin, Sandujua Kunahmet Waskito, Suwarni a.k.a Adek Ceeguk)

Festival Oktober - Komite Teater Dewan Kesenian Lampung 25 Oktober 2024

Gedung Pertunjukan Dewan Kesenian Lampung

Dokumentasi Video oleh Panitia Festival Oktober

 

Sebelum perang, aku selalu merasa bahwa Gaza adalah ibu keduaku. Tapi hari ini, aku merasa seperti dalam pengasingan. Kami dihukum di tempat. Kami semua melarikan diri di tengah malam. Menghabiskan malam dalam kegelapan. Aku menjadi sangat berhati-hati dengan segala sesuatu. Aku takut akan kehidupan. Tragedi terbesarnya adalah tidak ada satu pun hal yang bisa menghentikannya. Semua lubang punya dasarnya, tidak dengan Gaza. Aku bermimpi untuk hidup suatu hari dalam kebebasan. Tapi kami harus berserah diri. Kami sangat jauh dari dunia. Aku merasa aku tidak akan menjadi sesuatu yang penting dalam hidupku. Sepanjang hari aku melihat para martir. (Kutipan tulisan Ahmad El Ruzzi, dan Ahmad Taha - Monolog Gaza)

Belakangan ini, beberapa kali kami melakukan pembacaan Monolog Gaza pada kesempatan-kesempatan kegiatan yang mengundang kami untuk tampil. Monolog Gaza adalah rangkaian monolog yang dibuat oleh banyak penulis dan diproduksi oleh Ashtar Theatre, Palestina. Pembacaan-pembacaan yang kami lakukan tersebut berlangsung di kedai-kedai kopi dan ruang terbuka. Pembacaan ini menstimulus kami ke arah pembacaan yang mengikutsertakan tubuh, mengarah ke bentuk deklamasi dan performance art. Ada keinginan untuk berempati terhadap Palestina melalui tubuh, melalui teks Monolog Gaza, meskipun kami tahu empati itu sama sekali jauh dari sepadan dengan tragedi dan penderitaan yang terjadi di sana dan dimana pun di dunia ini.

Pada Festival Oktober Dewan Kesenian Lampung, Artery Performa memanggungkan empat bagian awal dari Monolog Gaza tahun 2010 yang masing-masing ditulis oleh Ahmad El Ruzzi , Ahmad Taha, Ashraf A-Sossi dan Alaa Hajjaj. Kami merasa semua tulisan dari antologi Monolog Gaza ini berhak dan penting untuk disuarakan tanpa tindakan pilih-pilih. Sudah menjadi cita-cita kami untuk secara bertahap dan berkala memanggungkan semua tulisan dari antologi Monolog Gaza

***

ASHTAR Theatre Palestine Production

Performers: Artery Performa (Dendi Madiya, Fahmi Ulhaq, Muchammad Syachbudin, Sandujua Kunahmet Waskito, Suwarni a.k.a Adek Ceeguk)

          Festival Oktober - Lampung Arts Council Theater Committee, October 25, 2024

Lampung Arts Council Performance Hall

Video Documentation by the Festival Oktober

Before the war, I always felt that Gaza was my second mother. But today, I feel like I am in exile. We were punished on the spot. We all fled in the middle of the night—spending nights in darkness. I became very careful about everything. I am afraid of life. The biggest tragedy is that there is nothing that can stop it. Every hole has a bottom, not Gaza. I dream of living one day in freedom. But we have to surrender. We are so far from the world. I feel like I will not be anything important in my life. All day long I see martyrs. (Excerpt from Ahmad El Ruzzi, and Ahmad Taha - Gaza Monologues)

Since the end of last year, Artery Performa read the Gaza Monologue several times at events that invited us to perform. The readings we did took place in coffee shops and open spaces. These readings stimulated us towards readings that involved the body, leading to forms of declamation and performance art. There was a desire to empathize with Palestine through the body, through the text of the Gaza Monologue, even though we knew that empathy is far from commensurate with the tragedy and suffering that is happening there and everywhere in the world.

At the Lampung Arts Council October Festival, Artery Performa staged the first four parts of the 2010 Gaza Monologue, each written by Ahmad El Ruzzi, Ahmad Taha, Ashraf A-Sossi and Alaa Hajjaj. We feel that all the writings from the Gaza Monologue anthology have the right and are important to be voiced without discrimination. It has become our goal to gradually and periodically stage all the writings from the Gaza Monologue anthology.

#stopgenocideingaza #stopgenocideofpalestinians #israelterrorist #freepalestine #endtheoccupationofpalestine

 


Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Festival Bantargebang 2025

-
Image
      Artwork by Anggun Rahmawati (English below) Wilayah TPST (Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, merupakan lingkungan yang inspiratif sekaligus problematis.  Tiga kelurahan (Ciketing Udik, Cikiwul, Sumur Batu) di area ini diisi oleh perkampungan, persawahan, perkebunan yang telah hidup berdekatan dengan gunungan sampah, fasilitas pengelolaan sampah, pemukiman pemulung, pengepulan sampah, serta pabrik dan sarana industri. Gunung sampah yang masif dan gigantik yang berdampak pada lingkungan hidup, lingkungan fisik, serta lingkungan ekonomi-sosial warga hingga mental, perasaan dan pandangan personal warga selalu mengirimkan getar dramatis kepada diri setiap seniman, budayawan, pekerja sosial dan setiap orang yang memasuki wilayah tersebut.  Para pemulung memungut sampah plastik dan sampah berharga lainnya hingga malam hari dengan menggunakan head-lamp, membuat pemandangan mirip serakan kunang-kunang di ketinggian yang menghasilka...
Read more

Kemanakah Sampah ini Berakhir? / Where does this waste end up?

-
Image
Oleh Suwarni a.k.a Adek Ceeguk (English below) Setidaknya begitulah pertanyaan yang terbersit di benak saya ketika petugas pengangkut sampah mengambil buntelan-buntelan plastik yang berisi sampah rumah tangga secara rutin dari setiap rumah. Biasanya petugas sampah akan datang mengambil sampah sebanyak dua kali dalam seminggu. Petugas sampah menggunakan sepeda motor roda tiga dengan bak terbuka di bagian belakang. Sebagai warga di salah satu komplek perumahan di kelurahan Bojong Rawalumbu, Bekasi, saya sering membuang apa saja di tempat sampah di depan rumah, termasuk baterai yang sudah habis dipakai, botol bekas oli atau apa saja yang menurut saya sudah menjadi sampah. Hal itu saya lakukan karena saya memang tidak mengetahui akses pengelolaan sampah yang memilah antara organik dan anorganik. Setelah beberapa bulan waktu berlalu, saya baru mengetahui bahwa ada bank sampah yang dikelola oleh pengurus RW, tetapi antusias dan kesadaran warga masih sangat kurang untuk menyetor sampah yang d...
Read more

Catatan tentang The Diary of Voyager / Notes on The Diary of Voyager

-
Image
Oleh Suwarni a.k.a Adek Ceeguk (English below) “Pada suatu ketika!”  Boy Mihaballo mengucapkan kata-kata itu dengan lantang, menandai dimulainya rangkaian site-specific theatre yang bertajuk The Diary of Voyager, 31 Agustus 2019, pukul 15.00. Sebuah project yang berbasis di Sungai Cisadane, Tangerang ini diinisiasi oleh tiga seniman Taiwan, yaitu Chang, Ting-Wei; Chang, Ting-Yong dan Wake-Up. Mereka tergabung dalam kelompok Shan-Dong-Ye Troupe. Pada project ini, mereka mengajak kelompok Artery Performa (Jakarta) dan Semanggi Foundation (Tangerang) untuk turut merealisasikannya. Boy mengayunkan tongkat sambil melompat-lompat, mengelilingi Tugu Jam Argotech, Pasar Lama, Tangerang. Di luar lingkaran tugu itu, seseorang memukul drum seirama dengan ayunan tongkat Boy. Dengan gerakan menari-menari, Boy berjalan keluar lingkaran menuju jalan raya. Boy terus mengayunkan tongkat yang mengeluarkan bunyi dari tutup botol minuman beragam merk sambil terus bergerak ritmis. Gerakan Boy mengingat...
Read more