BUNGA MAWAR DAN KEKASIH TUHAN

Cerpen oleh Suwarni a.k.a Adek Ceeguk

             “Menikahlah, Santo, selagi Ibu masih hidup dan tangan Ibu masih kuat menimang bayi.” 

Santo tidak menjawab. Bibirnya rapat. Raut wajahnya juga tidak berubah, tidak menunjukkan ekspresi marah atau tidak suka dengan permintaan ibunya. Sangat biasa.

“Apa perlu Ibu yang mencarikanmu kekasih?” Ibu semakin berharap.

Pelepah pohon kelapa yang sudah kering itu jatuh ke tanah. Suaranya terdengar seperti sebuah desakan.

“Apakah Maria akan terlahir untuk kedua kalinya?” Santo berkata seperti sedang berbicara dengan dirinya sendiri.

Santo menatap langit yang mendung. Sesekali tangannya memutar-mutar pot bunga yang berada di atas meja serambi rumah, memetik daun bunga mawar yang telah menguning.

“Maaf, Bu, Santo belum bisa memenuhi permintaan Ibu.”

Ibu bangkit dari kursi dan masuk ke dalam rumah dengan langkah gontai dan pikiran yang menerawang, meninggalkan Santo seorang diri di serambi rumahnya. Putranya yang makin hari semakin menunjukkan sikap seakan menolak untuk menikah.

Diusianya yang hampir kepala empat, Santo mengisi hari-harinya di kebun sebagai petani bunga mawar di lahan milik kedua orangtuanya. Sejak menyelesaikan pendidikannya di jurusan pertanian, Santo dengan tekun menggeluti pekerjaan sebagai petani bunga. Ia juga membagikan ilmunya kepada petani lain di kampung tetangga. 

Senja mulai turun, angin bertiup sedikit kencang. Santo berdiri, mengambil caping dan berjalan menuju kebun. Mungkin sebentar lagi akan hujan, Santo berniat menutup kandang bibit bunga mawar dan memastikan atapnya kokoh supaya angin buruk pembawa hama tidak mengganggu pertumbuhannya. 

Santo menelisik satu persatu calon batang bunga, menaksir kualitas dari bibit yang ditanamnya. Matanya mengamati dengan cermat setiap inci dari batang-batang bunga mawar itu. 

“Santo…” 

Santo terkesiap. Ada suara lembut yang mampir ke telinga Santo bersamaan dengan hembusan angin yang bertiup masuk dari pintu kandang yang terbuka. Badannya berbalik cepat, kepalanya menengok ke segala penjuru kandang. Tidak ada siapapun. “Lalu suara siapa itu?” pikir Santo. 

Cepat-cepat Santo menutup pintu kandang dan kembali ke rumah, permintaan Ibunya untuk segera menikah sepertinya telah menghantui pikirannya.

Santo berjalan kembali ke rumahnya, langkahnya sedikit memburu, karena rintik hujan mulai turun. Ia melewati kebun bunga yang siap dipanen esok pagi. 

“Santo…”

“Santo…”

“Santo…” 

Sayup-sayup terdengar suara yang hampir sama dengan sebelumnya, Santo menoleh mencari sumber suara. Tidak ada siapapun. Tidak seorangpun terlihat oleh matanya. 

“Siapa!” Santo berteriak untuk memastikan keadaan. Tidak ada yang menyahut. Santo kembali berjalan menuju rumahnya. Hari sudah berangsur gelap.

“Darimana?”

Rupanya Ibu sedang menunggunya di serambi.

“Menutup pintu kandang bibit mawar. Angin cukup kencang.”

“Masuklah. Mungkin akan hujan lebat.”

Mereka masuk ke dalam rumah. Benar saja apa yang dikatakan ibunya, hujan lebat turun selepas makan malam. Bapak duduk membaca alkitab di meja makan yang telah dibersihkan oleh Ibu.

Santo masuk ke dalam kamarnya, ia membuka tirai kamarnya, mengintip ke luar. Semuanya gelap berkabut, tampak dari lampu di kebun yang terlihat mengembun dari kaca jendela. Pada siang hari, Santo bisa melihat kebun bunga miliknya di kejauhan dari jendela kamarnya yang hanya terpisah oleh sepetak lahan tanaman ubi jalar.

Santo menutup tirai jendela, duduk bersandar di kursi, membayangkan esok hari yang bisa saja menjadi sedikit merepotkan bagi kuli pemanen bunga karena tanah yang berlumpur, sisa hujan malam ini.

Ia membuka layar laptopnya, mencatat pendapatannya selama masa panen. Santo menghitung biaya pengeluaran perawatan dan turun tangan sendiri mengurus kebun mawar miliknya. Ia hanya membutuhkan kuli pemotong tangkai mawar setiap kali masa panen lalu membawanya ke pengepul.

Santo keluar dari kamar, menemui Bapak dan ibunya.

“Ibu, ini uang belanja untuk Ibu dan ini uang untuk disumbangkan ke gereja.” 

Santo menyodorkan dua amplop putih kepada ibunya.

“Sisakan sedikit uang untuk masa depanmu.”

Ibu memandang dua amplop di meja. Santo mengambil gelas di meja dan menuang air lalu meneguknya dengan perlahan. 

“Ibu, masa depan terbaik adalah mampu berderma kepada sesama selama kita hidup.”

Ibu menarik nafas dalam-dalam. Bapak masih tekun membaca alkitab. 

“Bapak, besok Santo ingin ke rumah Tuhan.”

Bapak meletakkan kacamatanya dan menoleh ke arah Santo, ”Ke gereja?”

Santo tidak menjawab dan kembali masuk ke kamar.

Hampir tengah malam, Santo masih membaca berita di internet mengenai harga pasar bunga mawar.

“Santo… “ 

Suara yang sama kembali mengusiknya. Tirai jendela berkibar karena tiupan angin, samar-samar Santo bisa melihat keluar. Hujan masih menyisakan gerimis yang rapat. 

Dengan rasa penasaran, Santo menyibak tirai jendela. Di bawah remang lampu kebun yang agak jauh, Santo melihat bayangan berkabut.

*

Hari masih gelap, ayampun masih mendengkur. Rombongan pemanen telah tiba di kebun bunga. Mereka menyapa Santo, beberapa diantaranya menyantap makanan dengan terburu untuk mengisi perut sebelum bekerja.

“Santo! Lihat!” 

Salah seorang rombongan wanita yang seusia dengan ibunya memanggil.

“Lihat bunga-bungamu! Semuanya berukuran besar!” 

Wanita lain yang sedang makan di tepi kebun mendadak menghentikan aktivitasnya dan berkerumun memandangi dengan takjub kuntum-kuntum mawar yang berukuran besar.

“Apa pupuk yang kau pakai?”

“Wah, kamu beruntung sekali!”

“Ini mawar ajaib! Baru kali ini saya melihat kuntum mawar sebesar ini.”

“Iya, ini mawar ajaib!”

“Ajaib!”

“Ajaib!”

“Ajaib!”

Suara-suara itu berebutan meminta jawaban dari Santo. Tetapi Santo masih berdiri terpaku di tempatnya. Saat tiba di kebun tadi, dia sendiri tidak memperhatikan perubahan yang terjadi pada kelopak mawarnya yang berubah menjadi besar, selebar telapak tangannya.

“Bagaimana ini, Santo? Apa tetap akan dipanen? Harganya pasti mahal sekali.”

“Panen saja seperti biasa, serahkan soal harga kepada pengepul.” 

Santo memberi isyarat dengan tangannya, mempersilakan pemanen memulai pekerjaannya. Rombongan pemanen mulai bekerja dengan penuh sukacita, seperti mendapat berkat dari langit karena telah diizinkan untuk menikmati keajaiban yang tidak pernah mereka alami selama hidup di dunia. Mereka memotong tangkai mawar dengan sangat hati-hati, layaknya menggunting kuku bayi yang baru lahir untuk pertama kalinya.

Santo melihat rona kebahagiaan yang terpancar dari bola mata semua orang di kebunnya. Tubuh Santo mengigil, sendinya terasa lemas. Sekujur tubuhnya terasa nyeri seperti tertusuk duri. Santo merasakan kehilangan yang mendalam pada dirinya saat tangkai mawar dipotong dari batangnya. Matanya mulai rabun dan hidungnya seperti tidak dialiri lagi oleh udara. Ketika seorang pemanen memotong tangkai mawar terakhir di kebun, tubuh Santo ambruk ke tanah. 

Seorang kuli pemanggul bunga mawar berteriak, melihat tubuh Santo yang tergeletak di tanah. Dengan tergesa ia berlari mendekat. Beberapa yang lain sibuk dengan inisatifnya masing-masing. Ada yang berlari ke rumah Santo untuk memberitahu orang tuanya, ada yang mengambil air minum, seorang lelaki muda langsung berlari memanggil mantri. Yang lainnya menggotong tubuh Santo ke tempat yang nyaman menurut pikiran mereka.

Seorang wanita yang masih setengah baya berinisiatif memeriksa denyut nadi Santo. 

“Bagaimana?” Tanya kuli pemanggul mawar.

“Aku tidak tahu, coba kalian periksa!” Jawab wanita setengah baya.

Mereka bergantian memeriksa denyut nadi Santo. 

“Bagaimana?” Tanya kuli pemanggul lagi.

Tidak ada yang berani memberikan jawaban.

Orangtua Santo datang dengan pakaian yang rapi karena mereka sedianya hendak berangkat ke gereja. Kerumunan memberi jalan untuk kedua orang tuanya. 

“Apa yang terjadi?” Tanya Bapak kepada rombongan kuli pemanen bunga mawar.

“Tidak tahu, Santo pingsan di tanah, saat kami sedang memanen mawar.”  

“Tolong bantu saya menggotong Santo masuk ke dalam rumah!” Pinta Bapak kepada rombongan.

“Mantri sudah datang!” Teriak lelaki muda dari arah jalan raya. Ia datang dibonceng motor oleh si mantri.

“Bawa ke rumah!” 

Rombongan kuli pemanen mawar bergantian bahu membahu menggotong tubuh Santo menuju ke rumah yang berjarak setengah hektar dari kebun. Mantri telah siap dengan peralatannya untuk memeriksa tubuh Santo.

Ibu telah berderai air mata, mencemaskan putra semata wayangnya yang tergeletak di ranjang kamar dengan wajah yang layu. Ibu setengah baya menepuk-nepuk pundak sang ibu untuk menguatkan batinnya.

Hening. 

Mantri selesai memeriksa. Ia menarik nafas panjang, matanya berkedip beberapa kali lalu menatap dengan penuh iba ke arah Ibu. 

“Santo telah tiada...” 

Ibu meraung mendengar pernyataan dari Mantri. Bapak bersimpuh, memeluk Ibu. Seluruh rombongan merasakan duka yang mendalam atas meninggalnya Santo. Mereka beringsut tanpa suara, bergerak tanpa komando membantu mempersiapkan pemakaman Santo. Ibu memberi titah kepada penggali kubur agar menggali tanah di tepi kebun mawar untuk makam Santo. 

Dua jam kemudian rumah Santo telah ramai oleh kerumunan orang yang datang untuk mengucapkan belasungkawa. Di sela suasana duka, seperti angin berhembus, tersebar cerita tentang Santo dan kuntum mawar ajaib. Berbagai pendapat orang-orang tentang Santo tumbuh berkembang subur. Tangan ibu-ibu dengan sangat hati-hati memetik helai demi helai kelopak mawar untuk ditabur di atas makam. Beberapa diantara mereka tampak sedih.

Berbagai kelompok tani dari kampung tetangga berbondong-bondong datang. Mereka tak kalah berduka karena kehilangan sosok guru yang selama ini dengan ketekunannya memberi pelatihan bertani secara sukarela. Santo telah menjadi bagian dari kehidupan mereka di kebun. Setiap jengkal tanah mereka telah ditapaki oleh kaki Santo.

Lewat tengah hari, tubuh Santo telah terbaring di dalam peti jenazah, tampak tenang dan nyaman sekali, layaknya ia sedang tertidur pulas seperti biasa sesaat setelah pulang dari kebun. Ia tampak tenang, seulas senyum tipis tersungging di bibirnya. Ibu dan Bapak memandang wajah Santo untuk terakhir kalinya sebelum peti jenazah ditutup, ia siap dimakamkan. Pastor memimpin upacara pemberkatan makam. Ia menitikkan airmata saat peti jenazah Santo dimasukkan ke dalam liang lahat, angin berhembus menebarkan wangi bunga mawar. Daun-daun mawar di kebun tampak layu, awan mendung menggantung di langit, membentuk wajah-wajah sendu rombongan yang mengantar Santo menuju rumah Bapa di surga. 

Menjelang petang, Ibu kembali ke makam Santo, memandangi gundukan tanah basah tempat putranya bersemayam. Tangannya yang telah keriput membelai taburan kelopak mawar yang telah dipanen tadi pagi. Ubannya melambai-lambai tersapu angin sore. Di dalam hati, Ibu sedang bercakap-cakap dengan Santo. Beberapa kali kepalanya mengangguk seperti memahami sesuatu.*

Sumber Foto: 


https://pixabay.com/id/photos/bunga-bunga-mawar-merah-tanaman-168552/


Comments

Popular Posts